Senin, 16 September 2019


Change The  Day


Awan hitam disertai angin kencang berhembus “Wussst...Wussstttt....wuuusttt...” berulang kali terdengar. “Der!Bruk! Dhok! Ngiiiik!” terdengar suara keras berulang-ulang membangunkan dari lamunku. Suara memekikkan telinga di setiap sudut ruangan menambah kengerian saat itu. “Bruuusssss.....” suara air jatuh tak ada sinyal membasahi bumi.
“Jemuraaaan!” teriak beberapa kamar di sebelahku. Semua berlari tak searah. Duduk di antara kekacauan yang membeku.
            Keluh dan kesah di setiap orang berjalan dan berlari berlainan arah di depanku. “Yah.. basah..padahal besok dipakai,” kata beberapa orang memajukan mulut.
“Duh..bagaimana ini?” keluh beberapa orang yang berada di dekat pintu ingin pergi. Raut wajah masam, kecut dari bibir mereka selalu mengerutu membuatku resah “Mungkin ini hari yang kurang baik,”begitu  pikirku.
Menepis sebuah pemikiran itu dan sedikit berharap akan mengubah sudut pandangku. Kekacauan terjadi beberapa menit yang lalu mengheningkan menit-menit selanjutnya. Semua orang dalam pemikiran masing-masing. Tak ada yang tau apa yang mereka pikirkan kecuali diutarakan. Sibuk dengan masalah masing-masing.
“Whuuuss...Wuuusss..Whuuusttt...” suara angin terdengar berulang-ulang dari luar. Beberapa detik kemudian suara pintu terdengar “Ngiiiiii-iiiik!”. Tak ada kata yang bersuara menanyakan bunyi suara. Suasana masih dalam keheningan seperti es.
“Jeglek, Sreek! Buk! Sree-ekk Buk!” suara terdengar berjalan perlahan mendekat. Raut wajah yang mulanya masam, kecut hilang menjadi wajah kepanikan dan kekhawatiran dibenak mereka. Mulaiku bingung dan lemas.
“Hei, coba cek! Salah satu dari kalian, siapa yang masuk pintu utama?” pinta Raira pada salah satu teman sambil melipat baju di ruang tamu.
“Kamu aja, Ra. Kamu kan jago tuh beladirinya,” balasku sambil membaca buku..
“Iya, benar!” seru teman-teman yang lain.
“Kalian ini,” balas Raira yang beranjak dari tempat duduknya.
Raira berjalan menuju pintu utama melewati garasi sepeda, tiba-tiba Raira teriak membuat seisi rumah gelagapan. Walau Raira jago melawan, tetapi dalam hati Raira juga merasakan dag dig dug di dada.
“Hei, Raira,” ucap khas Aara melambaikan tangan dari perbatasan pintu dapur dan garasi.
“Hei-ii!” teriak Raina yang terkejut saat melihat kepala Aara muncul dari pintu dapur.
“Hahahahaha...” tawa Aara melihat Raina terkejut sambil bersender di tengah pintu yang tak ada pintu.
Berakhir dengan kemarahan Raina dengan tingkah konyol Aara. Keributan terdengar dari ruang tengah menimbulkan ketegangan dan pertanyaan. Kegaduhan malam itu tak berakhir begitu saja. Kos perempuan yang tempatnya tak jauh dari kota listrik padam tiba-tiba. Kos menjadi ramai, kacau tak terkendali.
“Ehhh....Akkkk...” teriak teman yang berada di dalam kamar.
“Astagfirullah” lirihku mengelus dada.
Berjalan tanpa penerangan sunyi tak bersuara, hati yang tak karuan dan suara hujan yang masih membasahi bumi menemani setiap langkahku.
“Duk!” satu kata membuatku merinding di sekujur tubuh. Diam terpaku tak bersuara.
“Hei, siapa itu?” tanya seseorang.
“Duh, Ra. Kenapa?” tanya seseorang yang di belakangnya.
“Hei, Raina, Aara kok bisa barengan,” kataku.
“Biasa, Rei. Aara takut,” kata Raina.
“Enak saja, Raina tuh yang takut,” balas Aara tak mau kalah.
“Sudah-sudah, kalian ini gak ada yang mau ngalah,” kataku menengahi.
Semua berkumpul dalam ruang tengah menyalakan beberapa lilin sehingga satu ruangan terang. Mengelar karpet duduk bersama menambah keakraban salam satu keluarga.
Detik-detik ketengangan yang berakhir pikirku, satu kata membuat semua kembali membuat jantung berdetak cepat “Deg..deg..deg..”. Keringat dingin membasahi tubuh. Suara yang sedikit ramai menjadi kekacauan yang tak dapat kuhentikan.
“Eh, bayangan apa itu dari sudut pintu?” tanya Raira. Semua memnadang tegang.
“Aara ini yang lewat, bikin tegang saja Raina ini,” kata Aara yang segera meluruskan. Disambung dengan ketawa Raina. Candaan Raina membuat cair suasana yang tegang saat itu.
“Eh, sudah pada salat belum?” tanya salah satu teman.
“Sudah,” balas yang hampir berbarengan satu sam lain.
“Kenapa?” tanyaku.
“Tidak, hanya mengingatkan saja,”
Semua terdiam, merenung diri dengan pemikiran masing-masing. Waktu keheningan tiba di antara mereka. Rintik-rintik hujan yang pergi meninggalkan udara yang semakin dingin. Membuat bulu kecil berdiri merekatkan jaket yang kukenakan.
“Alhamdulillah,” kataku berbarengan dengan teman-teman yang lain.
“Akhirnya, bisa melihat wajah-wajah ceria kalian,” kata Raina yang diikuti pipi yang mengembang di antara mereka.
Saatnya kembali ke kamar masing-masing, satu persatu meninggalkan ruang tamu. Ruang yang ada banyak kehangatan karena kehangatan yang dibawa setiap individu pergi berubah dingin dan sepi.
Bersandar di bawah cahaya lampu yang menyala ditemani dengan udara dingin menyapa. Merenung dan menatap setiap sudut ruangan. Ruangan yang mengukir sebuah memori tersimpan dalam benakku. Pandangan yang salah mengenai suatu keadaan membuatku menyadari akan pentingnya bersyukur dan tak langsung mengeluh. Perlu menikmati setiap proses hingga kita menyadari tak ada hari yang kurang baik. Namun semua hari itu baik tergantung bagaimana menyikapinya dari sudut pandang sisi lain. “Hari ini adalah hari yang baik, walau semua berawal dari kekacauan. Namun, diakhir ada sebuah kebaikan dan kehangatan hati. Benar Raina!” kataku mengutakan isi benak di dalam diri.
“Yah.. memang manis dan mengemaskan suasana hari ini, hehehe,” balas Raina.
Satu hal yang dapat menyadarkan mereka tentang cara bersyukur dan menghargai tanpa mengeluh. Hari bisa berubah namun hari baik ditentukan dari sudut pandang setiap individu. “Mari change the day menjadi lebih baik!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar