Change The Day
Awan hitam disertai
angin kencang berhembus “Wussst...Wussstttt....wuuusttt...” berulang kali
terdengar. “Der!Bruk! Dhok! Ngiiiik!” terdengar suara keras berulang-ulang
membangunkan dari lamunku. Suara memekikkan telinga di setiap sudut ruangan
menambah kengerian saat itu. “Bruuusssss.....” suara air jatuh tak ada sinyal
membasahi bumi.
“Jemuraaaan!” teriak beberapa kamar di sebelahku. Semua berlari tak
searah. Duduk di antara kekacauan yang membeku.
Keluh dan kesah di
setiap orang berjalan dan berlari berlainan arah di depanku. “Yah.. basah..padahal besok
dipakai,” kata beberapa orang memajukan mulut.
“Duh..bagaimana
ini?” keluh beberapa orang yang berada di dekat pintu ingin pergi. Raut wajah
masam, kecut dari bibir mereka selalu mengerutu membuatku resah “Mungkin
ini hari yang kurang baik,”begitu pikirku.
Menepis sebuah
pemikiran itu dan sedikit berharap akan mengubah sudut pandangku. Kekacauan
terjadi beberapa menit yang lalu mengheningkan menit-menit selanjutnya. Semua
orang dalam pemikiran masing-masing. Tak ada yang tau apa yang mereka pikirkan
kecuali diutarakan. Sibuk dengan masalah masing-masing.
“Whuuuss...Wuuusss..Whuuusttt...”
suara angin terdengar berulang-ulang dari luar. Beberapa detik kemudian suara
pintu terdengar “Ngiiiiii-iiiik!”. Tak ada kata yang bersuara menanyakan bunyi
suara. Suasana masih dalam keheningan seperti es.
“Jeglek, Sreek!
Buk! Sree-ekk Buk!” suara terdengar berjalan perlahan mendekat. Raut wajah yang
mulanya masam, kecut hilang menjadi wajah kepanikan dan kekhawatiran dibenak
mereka. Mulaiku bingung dan lemas.
“Hei, coba cek! Salah satu dari kalian, siapa yang masuk pintu utama?” pinta Raira pada salah satu
teman sambil melipat baju di ruang tamu.
“Kamu aja, Ra. Kamu
kan jago tuh beladirinya,” balasku sambil membaca buku..
“Iya, benar!” seru
teman-teman yang lain.
“Kalian ini,” balas
Raira yang beranjak dari tempat duduknya.
Raira berjalan
menuju pintu utama melewati garasi sepeda, tiba-tiba Raira teriak membuat seisi
rumah gelagapan. Walau Raira jago melawan, tetapi dalam hati Raira juga merasakan
dag dig dug di dada.
“Hei, Raira,” ucap
khas Aara melambaikan tangan dari perbatasan pintu dapur dan garasi.
“Hei-ii!” teriak
Raina yang terkejut saat melihat kepala Aara muncul dari pintu dapur.
“Hahahahaha...”
tawa Aara melihat Raina terkejut sambil bersender di tengah pintu yang tak ada
pintu.
Berakhir dengan
kemarahan Raina dengan tingkah konyol Aara. Keributan terdengar dari ruang
tengah menimbulkan ketegangan dan pertanyaan. Kegaduhan malam itu tak berakhir
begitu saja. Kos perempuan yang tempatnya tak jauh dari kota listrik padam
tiba-tiba. Kos menjadi ramai, kacau tak terkendali.
“Ehhh....Akkkk...”
teriak teman yang berada di dalam kamar.
“Astagfirullah”
lirihku mengelus dada.
Berjalan tanpa
penerangan sunyi tak bersuara, hati yang tak karuan dan suara hujan yang masih
membasahi bumi menemani setiap langkahku.
“Duk!” satu
kata membuatku merinding di sekujur tubuh. Diam terpaku tak bersuara.
“Hei, siapa itu?”
tanya seseorang.
“Duh, Ra. Kenapa?”
tanya seseorang yang di belakangnya.
“Hei, Raina,
Aara kok bisa barengan,” kataku.
“Biasa, Rei.
Aara takut,” kata Raina.
“Enak saja, Raina
tuh yang takut,” balas Aara tak mau kalah.
“Sudah-sudah,
kalian ini gak ada yang mau ngalah,” kataku menengahi.
Semua berkumpul
dalam ruang tengah menyalakan beberapa lilin sehingga satu ruangan terang. Mengelar
karpet duduk bersama menambah keakraban salam satu keluarga.
Detik-detik
ketengangan yang berakhir pikirku, satu kata membuat semua kembali membuat jantung
berdetak cepat “Deg..deg..deg..”. Keringat dingin membasahi tubuh. Suara yang
sedikit ramai menjadi kekacauan yang tak dapat kuhentikan.
“Eh, bayangan
apa itu dari sudut pintu?” tanya Raira. Semua memnadang tegang.
“Aara ini yang
lewat, bikin tegang saja Raina ini,” kata Aara yang segera meluruskan. Disambung
dengan ketawa Raina. Candaan Raina membuat cair suasana yang tegang saat itu.
“Eh, sudah pada
salat belum?” tanya salah satu teman.
“Sudah,” balas
yang hampir berbarengan satu sam lain.
“Kenapa?” tanyaku.
“Tidak, hanya mengingatkan
saja,”
Semua terdiam,
merenung diri dengan pemikiran masing-masing. Waktu keheningan tiba di antara
mereka. Rintik-rintik hujan yang pergi meninggalkan udara yang semakin dingin. Membuat
bulu kecil berdiri merekatkan jaket yang kukenakan.
“Alhamdulillah,”
kataku berbarengan dengan teman-teman yang lain.
“Akhirnya, bisa
melihat wajah-wajah ceria kalian,” kata Raina yang diikuti pipi yang mengembang
di antara mereka.
Saatnya kembali
ke kamar masing-masing, satu persatu meninggalkan ruang tamu. Ruang yang ada
banyak kehangatan karena kehangatan yang dibawa setiap individu pergi berubah
dingin dan sepi.
Bersandar di
bawah cahaya lampu yang menyala ditemani dengan udara dingin menyapa. Merenung dan
menatap setiap sudut ruangan. Ruangan yang mengukir sebuah memori tersimpan
dalam benakku. Pandangan yang salah mengenai suatu keadaan membuatku menyadari
akan pentingnya bersyukur dan tak langsung mengeluh. Perlu menikmati setiap
proses hingga kita menyadari tak ada hari yang kurang baik. Namun semua hari
itu baik tergantung bagaimana menyikapinya dari sudut pandang sisi lain. “Hari
ini adalah hari yang baik, walau semua berawal dari kekacauan. Namun, diakhir
ada sebuah kebaikan dan kehangatan hati. Benar Raina!” kataku mengutakan isi
benak di dalam diri.
“Yah.. memang
manis dan mengemaskan suasana hari ini, hehehe,” balas Raina.
Satu hal yang
dapat menyadarkan mereka tentang cara bersyukur dan menghargai tanpa mengeluh. Hari
bisa berubah namun hari baik ditentukan dari sudut pandang setiap individu. “Mari
change the day menjadi lebih baik!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar